Saturday, July 25, 2015

Liburan... edisi Pisa


Piazza del Duamo dari atas
Pisa, 3 Juni 2015

Ini kota terakhir yang kami kunjungi sebelum memasuki Jerman. Perjalanan dari Fez ke Pisa, alhamdulillah tidak ada halangan. Pesawat berangkat dan tiba tepat waktu di Bandara Galileo Galilei (hmm, apa Galileo Galilei orang Italia ya). Sampai di tempat, langsung diarahkan menuju pemeriksaan paspor yang terbagi 2, antara warga EU (Europe Union) dan non-EU, dilanjutkan pemeriksaan x-ray barang-barang. Keuntungan bawa anak kecil; si petugas memotong jalan buat kami (juga untuk orangtua yang berkursi roda).  Selesai...huff tidak ternyata di pintu keluar masih ada petugas membawa anjing, mungkin untuk kasus obat-obatan kali yaa (sotoy deh). Sayang kami bukan penyelundup obat-obatan, jadi lancar saja melewati si anjing. hehe.

Keluar bandara saya mencium bau harum semerbak dari suatu bunga yang ternyata berasal dari bunga putih yang menutupi hampir seluruh atap bandara. Tampak bagus dan cantik jadinya penampakan si bandara. Karena memasuki musim semi dan matahari tenggelam jam 21.00, jadi saya masih bisa penampakan kota Pisa saat terang meskipun saat itu jam sudah menunjukkan jam setengah 09 malam. Senangnya...Dari bandara ke penginapan sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi kami harus segera check in ke hostel paling lambat jam 22.00, kalau tidak kami bisa tidur di jalan, makanya suami memutuskan untuk naik bus.
Bunga ini lho yang membuat bandara berbau harum dan bandingkan foto yang diambil jam 20.30 dan 12.00

Busnya keren tapi dalamnya sempit dan masil pake manual untuk uang kembalian :D

Friday, July 24, 2015

Pengalaman Memvaksinasi Anak di Jerman

Tergelitik ingin berbagi kisah memvaksinasi si kecil di Jerman setelah melihat debat suami dengan salah satu grup antivaks yang sempat menyiratkan bahwa imunisasi di Jerman tidak seintensive di Indonesia dan penggunaannya dibatasi karena dianggap berbahaya bagi anak-anak.

Saya sih tidak ingin ikut-ikutan berdebat, mana yang benar dan mana yang salah. Ilmu itu berkembang terus kawan, bahkan Islam pun mendukung terhadap perkembangan ilmu bukan. Saya juga percaya bahwa para scientist yang berkecimpung di dunia penelitian vaksin itu bukan semata-mata dibayar oleh perusahaan vaksin, tapi mereka murni mencari hal-hal yang baru, yang pada ujungnya bermanfaat bagi orang banyak. Kalau pada akhirnya mungkin mereka benar (entahlah), toh apa yang ada di masa ini pastilah akibat kejadian wabah yang lalu dan saya percaya lebih banyak manfaat daripada mudharatnya kalau dilakukan. Dan jawaban suami cukup mengejutkan setelah saya ledeki, "hayo abi, setelah debat agak keras begitu, bagaimana kenyataannya kalau kaum antivaks ternyata benar?". Apa jawaban suami? "Saya tidak malu kok untuk mengakui kalau ternyata saya salah." (Kereen..:p). Jadi curhat karena punya suami peneliti :D

Tapi ingin juga nih membuktikan prasangka itu........ :)

Kesempatan datang....saat memasukkan si kecil pertama kali ke Kindergarten (Kita) usia 16 bulan, si penanggungjawab di Kita menyerahkan lembar yang harus diisi oleh dokter anak tentang riwayat kesehatan dan imunisasi apa yang sudah diterima dan wajib dikumpulkan sebagai referensi kesehatan untuk Kitanya.

Maka kami pun segera membuat janji dengan dokter anak di suatu tempat yang agak jauh dari rumah. Sebenarnya ada juga di dekat tempat tinggal kami, di sampingnya Kita lagi tapi ngantrinya itu lho lama dan ada kemungkinan kalau lama begitu, pemeriksaannya biasanya terburu-buru (hehe, langsung menghakimi nih). Oiya, tentang dokter anak ini tidak seenaknya lho kita bisa berganti-ganti (tapi saya sempat berkunjung ke 3 dokter anak. hehe). Kalau sudah dari awal di dokter A, selanjutnya ya di dokter A. Kalau mau ganti boleh saja, tetapi tidak berganti-ganti. Malah kadang kalau kita pindah, dokter B itu seperti enggan melayani. Tapi memang baiknya 1 dokter sih, biar dokternya benar-benar paham perkembangan si anak. 
Sampai di sini, saya masih bertanya-tanya, "bener g ya dokternya anti vaksin?"

Konsultasi pertama ini bertepatan juga dengan jadwal U6. Apa itu U6? U6 ini salah satu dari program U -screening yang ada di Jerman. Totalnya ada 11 (U1-U11). Di program skrining ini, dokter tidak hanya memeriksa perkembangan dan mengobati bila ada masalah, tetapi juga ternyata memberikan imunisasi sesuai jadwalnya. Tentang U1-U11 klik di sini dan dokter kami ini menyarankan untuk imunisasi. Setelah kami menceritakan bahwa di Indonesia pun si kecil sudah pernah dapat imunisasi wajib akhirnya si dokter menunda imunisasi apa yang akan diberi sampai kami membawa surat keterangan medis alias catatan perkembangan dan imunisasi apa yang diberikan saat di Indonesia (yang ada di buku warna pink BKIA itu lho) dan janjian berikutnya 1 minggu kemudian. Nah...dari 3 dokter yang saya kunjungi di semua ruang tunggu ternyata terpampang poster-poster yang menyarankan anak-anak harus melakukan U-screening dan imunisasiny. Na und?
Banyak mainan

Jadwal imunisasi terpampang jelas

1 minggu kemudian, kami datang kembali dengan membawa berkas-berkasnya dan dari buku pink itu si kecil belum mendapat MMR, Varisela, dan meningokok suatu  imunisasi yang "dianjurkan" bukan "diwajibkan" di Indonesia (berdasarkan IDAI tahun 2010) dan mengingatkan kembali pada usia 24 bulan nanti datang lagi untuk U7. 

Sedikit cerita nih, pemeriksaan oleh dokter anak ini sedikit berbeda dengan di Indonesia, g parah kok bedanya, cuma bisa jadi referensi nih kalau buka klinik :D. Setelah menyerahkan kartu asuransi dan data tentang anak, kami dipersilahkan menunggu di ruang tunggu (yang penuh mainan), pasien akan dipanggil sesuai dengan daftar dan prioritasnya adalah ''siapa yang sudah membuat janji didahulukan dibanding yang datang lebih dahulu". Sampailah nama kecil dipanggil dan kami dipersilakan masuk ke dalam kamar periksa sambil diminta untuk mempersiapkan si kecil (maksudnya dibuka baju dan celana sampai cuma pake pampers doang) sebelum dokter datang. Kamar-kamar periksa ini ada banyak jadi si dokter "lompat" dari satu kamar ke kamar lain saat pasien sudah siap. Cukup efesien sepertinya sehingga waktu konsultasi bisa lebih lama daripada "berperang" dengan si kecil yang takut diperiksa. Kalau di Indonesia kan (pengalaman saya sih), saat baru mau diperiksa fisik baru si kecil dipersiapkan.

Setelah menunggu 5-7 menit, masuklah di dokter dan sambil berjabat tangan menyebutkan nama. Kemudian setelah bertanya-tanya mulailah si dokter memeriksa si kecil dari ujung kepala sampai kaki, lubang telinga, mulut dan tenggorokan, serta paru-paru. Setelah kondisi dinyatakan sehat untuk diimunisasi, si dokter memberi instruksi pada perawat untuk mempersiapkan imunisasinya. Aih, ternyata imunisasi langsung memakai 2 suntikan di paha kanan dan kiri. Sempat agak ngomel dalam hati nih karena saya sempat berharap lebih "ini negara maju, masa' imunisasinya ga bisa di combo sih. Jadi kan agak manusiawi. Mana jarum suntiknya yang dipakai no.23 lagi. Sakit lho meski orang dewasa, apalagi ini anak-anak" :D. 

Setelah disuntik ini, prosedurnya tidak boleh langsung pulang melainkan harus menunggu 30 menit untuk menunggu reaksi alergi/hipersensitivitas terhadap vaksinnya karena reaksi alergi/hipersensitivitas yang berat bisa sampai fatal sampai mengancam jiwa lho. Tapi, alasan ini jangan dijadikan alasan untuk tidak vaksin lho ya karena bila kita melakukan prosedur dengan  benar maka anak bisa selamat kok dan kasusnya juga cuma 1:1.000.000. Cuma ya itu tadi ikuti prosedur, tunggu dulu; jangan terburu-buru pulang :)

Jadwal untuk U7 sebenarnya harus di usia 21-24 bulan setelah kelahiran ini kami lakukan di dokter berbeda karena kami menemukan lagi yang lebih dekat rumah dengan waktu tunggu tidak terlalu lama. Sayangnya kami lupa untk melakukan U7 sampai usia si kecil sudah 25 bulan. Padahal tahu tidak, burgeramt alias kantor kecamatannya (RALAT: seperti kantor kabupaten/kotamadya) sudah mengirimi surat yang mengingatkan untuk jangan lupa memvaksinasi pada saat menjelang 24 bulan kemarin dan 3 minggu yang lalu bahkan kami di beri peringatan untuk segera melakukan U7 sampai batas toleransi bulan September nanti (aduuuh kok bisa lupa siih). Sayangnya suratnya sudah hilang jadi tidak bisa saya foto sebagai bukti :D. sampai segitunya kan pemerintah Jerman ngubek-ngubek masalah imunisasi.

Di U7 nanti sepertinya akan mendapat imunisasi Difteri, Tetanus dan Hib. Yuk, minggu depan ini kita lihat imunisasinya combo atau bukan seperti di Indonesia.. 
         
Update....
Senin kemarin si kecil sudah melakukan U7 nih. Skrining tentang kemampuan bicara, cara berjalan, tinggi badan dan berat badan, refleks dan abnormalitas yang lain. Terakhir di bilang akan ditambahkan lagi imunisasinya DPT-Combo booster dan Polio dan pneumokok. Tetap memakai 2 suntikan dengan ukuran jarumnya lebih kecil tetapi ternyata vaksinnya pun combo bahkan vaksin polionya pun masuk dalam suntikan. 

Label vaksinnya tak lupa di tempel di buku kuning, buku yang harus di bawa kemanapun si kecil melakukan imunisasi meski berbeda dokter. Selesai imunisasi si perawat mengecek apakah kami memiliki obat panas atau tidak di rumah dan selanjutnya diperbolehkan pulang. Loh kok? Katanya harus menunggu 30 menit. Ternyata alasannya karena ini bukan merupakan imunisasi pertama dan tidak ada riwayat alergi pada imunisasi sebelumnya, jadi mereka anggap aman. Boleh pulang deh. Hasil dari pemeriksaan ini sepertinya akan dilaporkan ke Bezirkamt (karena U6 kemarin kami tidak mendapat surat apapun) sehingga mereka tidak perlu mengingatkan lagi. Entah apa yang akan terjadi kalau sampai batas yang diberikan, si kecil belum melakukan U7 ya dan g mau coba-coba ah.

Oiya, ternyata aturan "yang sudah membuat janji didahulukan" tidak berlaku kali ini. Kami harus menunggu 1 jam dari waktu yang dijanjikan meskipun kami sudah datang 45 menit dari waktu janjian.

Bandingkan juga jadwal imunisasi di Jerman (ada UK juga) klik di sini dan program imunisasi di Indonesia
mirip lho :D

Jadi kesimpulannya....

Tuesday, July 21, 2015

Liburan... edisi Madrid part 2

Tema liburan kali ini adalah Backpackere :D Semi backpacker dengan mengusahakan budget seminim mungkin. Maklum suami masih "student" :D

Los Amigos, Hostel untuk Para Backpacker
Kami tiba di Opera sekitar pukul 01.00 dini hari. Kenapa di Opera? Karena hostel yang kami pesan berada di sini. Nama hostelnya Los Amigos, hostel untuk para Backpacker, murah dan letaknya strategis, berada di tengah daerah wisata. Pemiliknya bernama Ruben, bapak-bapak bertubuh tinggi besar dan tambun. Tampaknya hostel ini dikelola oleh sebuah keluarga. Ruben dan staf lainnya sangat ramah dan suka anak keci.
Los Amigos dan si pemilik, Ruben

Lokasi hostel dari U-Bahn Opera tidak jauh. Saat keluar dari U-Bahn dan melihat jalanan di Madrid, kesannya seolah-olah melihat scene film televonela secara langsung :D. Hostelnya berada di lantai 4 jadi harus naik lift. Kami disambut Ruben yang menunjukkan letak kamar. Kamar kami kecil tapi nyaman. Meski sempit, tapi efek kaca besar membuat kamar terasa luas dan yang paling penting mereka pun menyediakan tempat tidur bayi asalkan kita sudah bilang saat booking. Untuk yang bepergian sendiri bisa memesan kamar yang terdiri dari beberapa tempat tidur bersama kawan backpacker lainnya, seperti rombongan wisata anak sekolah yang saat itu ikut juga menginap di Hostel.  Kamar mandi digunakan bersama dan tidak boleh digunakan selama jam 23.00-07.00 agar tidak mengganggu tamu yang lain.
Fasilitas yang diberikan hostel ini adalah kamar dibersihkan tiap pagi, sarapan pagi (aneka cereal, kopi, teh, susu, roti dan kue. Kadang mereka menambahkan kue khas Spanyol) yang modelnya ambil sendiri suka-suka di dapur, kecuali yang tambahan ya dan free wifi. Khusus untuk dapur ini, kita bisa memasak sendiri tetapi semua pun harus dibereskan sendiri. Kalau kita punya makanan yang mudah membusuk, bisa kita titipkan di kulkas mereka asal ada nama dan keterangan lain. Labelnya disediakan. Batas menggunakan dapur sampai jam 23.00
Kita juga bisa meminta peta Madrid dan mengeprint dengan tarif 50 cent/lembar. Berapa tarif nginap 3 hari? 126 euro untuk 2 orang. Lumayan murah untuk daerah touristik.
Dapur Los Amigos dan kulkas tempat untuk menitipkan makanan
Mencari Makanan Halal di Spanyol
Agak sulit menemukan restoran yang benar-benar terjaga kehalalannya. Di pusat turisnya kami hanya menemukan 1 restoran arab yang berlabel halal dan tidak menjual alkohol sama sekali ada di jalan del San Bernardo. Selebihnya, berlabel halal tapi menjual alkohol juga.
Menu Arab


Mungkin yang banyak pilihan halalnya kalau kita melipir sebentar ke pinggiran Madrid alias ke tempat-tempat warga lokal yang jarang dikunjungi turis. Tempat seperti ini banyak ditemui saat kalian mengunjungi Masjid terbesar di Madrid, yaitu di distrik Cuatro Caminos. Banyak wajah timur tengah yang bisa ditemui di sini plus toko dan restoran yang menjual makanan halal. Di distrik ini pula, akhirnya saya bisa potong rambut di salon muslimah yang tertutup milik seorang wanita arab. Menurut pemiliknya, ini adalah salon muslimah pertama dan baru buka 1 tahun yang lalu.

Liburan....edisi Ke Madrid part 1


27 May 2015

Yeay...pak suami membeli tiket promo perjalanan 10 hari dari Berlin-Madrid-Fez-Pisa-Dusseldorf-Berlin menggunakan maskapai Ryan Air, jadi lumayan bisa menghilangkan stres sejenak. Tentang Ryan Air: ini termasuk Air Asianya Eropa, sering menawarkan paket murah jalan-jalan tapi kompensasinya jangan melebihi peraturan yang ada, misal membawa bagasi lebih dari seharusnya, meminta prioritas penerbangan (priority boarding), snack; minuman; dan suvenir harus beli. Tapi...tetap ada kemudahan bagi anak-anak :D

Bandara Schönefeld, Kecil Sih tapi Luas
Perjalanan dimulai: berangkat dari rumah jam 17.00 menuju ke Flughafen (bandara) Schönefeld karena 2 jam sebelumnya harus sudah check in. Bandara ini terletak di area C jadi jangan lupa untuk beli tiket daerah C (cuma pengalamanku biasanya pak sopir tidak terlalu memperhatikan kalau punya tiket bulanan untuk wilayah AB (entah bapaknya tidak memperhatikan penumpangnya turun dimana atau g mau pusing karena dekat). Awalnya kami memilih naik bus 171 (bisa juga X71) karena dalam pikiran kami bus turun persis di depan pintu tidak seperti S-Bahn. Ternyata kami keliru, bus 171 malah turun di seberangnya sama saja dengan S-Bahn. Lumayanlah 10 menitan jalan. Bandara ini hanya punya terminal A-E yang jaraknya tidak terlalu jauh. Bandara Tegel yang saya pikir tidak terlalu luas, ternyata masih agak lebih besar daripada Schönefeld.

Untuk penumpang yang berpaspor bukan Eropa jangan lupa selalu datang ke counter tidak hanya untuk check in tapi juga check paspor dan cap check paspor itu sudah harus tertera di tiket yang sudah di print. Si petugas meminta kami menunggu 30 menitan untuk memberi label "free baggage" pada kinderwagen si kecil (kenapa harus menunggu?entahlah). Jadilah kami menunggu di pojok sambil memakan snack yang kami siapkan (seperti biasa harga barang di bandara selalu lebih mahal).
Tertib antri dan fasilitas Bandara Schönefeld

Setelah mendapat label, kami menuju ke X-Ray setelah pengecekan sebentar oleh petugas. Di X-Ray ini semua barang termasuk kinderwagen pun harus masuk ke dalam baki yang sudah disiapkan dan masuklah kami ke Hall yang luas yang bisa melihat pesawat, wah si kecil mah senang kalau begini. Sempat makan malam di hall tersebut, sampai akhirnya muncul panggilan untuk masuk ke dalam Gate. Alamak, ternyata gatenya ada di Terminal A dan untuk menyeberang harus naik dan turun tangga, tidak ada lift (untung sudah beli kinderwagen yang ringan). Sampai di gate, petugas memberi label"free baggage" kembali untuk koper-koper penumpang. Saat tiba giliran kami, dia bilang "ah, you have a child" dan koper kami tidak perlu dilabel :), kemudian saat menunjukkan boarding pass, petugas lain meminta kami ke barisan "priority boarding". Wow, sesuatu banget. Setelah kami pelajari ternyata untuk penumpang yang membawa anak kecil otomatis dikategorikan "priority boarding" meski tidak membayar lebih untuk fasilitas ini. Selain itu, orang tua dan orang dengan kursi roda juga termasuk "priority boarding".
Priority Boarding

Pukul jam 20.30, penumpang sudah mulai diijinkan masuk pesawat dan kinderwagen diserahkan pada petugas untuk masuk bagasi. Pukul 20.50, pesawat jalan. On time.

Yang menarik untuk tinggal landas, pesawat harus berjalan jauh bahkan saya melihat ada bandara baru "Bradenburger Flughafen" yang belum difungsionalkan. Apakah ini akan menggantikan Schönefeld? Saya belum tahu. Pak suami bahkan sampai penasaran seberapa jauhnya tempat tinggal landas dengan bandara dan ingin melihatnya dari udara. Sayang g kesampaian.haha

Welcome to Madrid, Spain
Madrid malam hari

Pengalaman di Bandara Madrid...edisi Madrid part 3

30 May 2015

Pagi jam 11.00 kami sudah harus keluar dari hostel karena kami harus check in 2 jam sebelumnya. Setelah check out dan say goodbye ke Ruben dan istrinya, kami menuju Metro Sol menuju Aeropuertorico T1 karena pesawat akan berangkat dari sana.
Sampai di bandara, feeling g enak sudah terasa melihat panjangnya antrian di counter Ryan Air dengan antrian yang g jelas. Sebenarnya sempat ada feeling underestimate gitu tentang tabiat orang Arab yang menurut saya hampir sama dengan di tanah air yaitu, GA TERTIB NGANTRI (maaf...maaf).
Kelihatan tertib, padahal aslinya main serobot

G seperti pelayanan Ryan Air di Berlin, menurut saya pelayanan di Madrid ini kurang memuaskan. Dengan antrian sebanyak itu, bahkan ada yang "last minute" dan menjadi prioritas, mereka hanya punya 3 staff dan setelah 1 jam antri saat giliran kurang 5 orang lagi, staf yang ada di lurusan kami pergi, entah sepertinya disuruh kemana oleh seniornya. Akhirnya giliran kami menjadi 2 kali lipatnya karena berbagi dengan barisan di sebelah kami. Awalnya sih, antrian ini mulai berlaku "siapa cepat dia dapat" antara barisan kami dan sebelah kami, tapi untungnya ibu Spanyol di belakang kami protes dan sempat ada ketegangan kecil dengan si staf. Dan akhirnya tiba giliran kami. Taraaa.....ternyata karena tidak ada bagasi yang harus masuk, sebenarnya kami bisa saja langsung ke counter "check in passport" yang antriannya g terlalu panjang. Hiks, jadi pengalaman deh dan label untuk kinderwagen diberikan saat berada di "Gate".

Setelah itu kami menuju ke X-ray untuk pemeriksaan barang-barang. Untungnya, si kecil membuat kami menjadi prioritas sehingga tidak harus mengikuti liuk-liuknya antrian, langsung menerobos. Di depan kami ada passngan arab dengan 3 orang anak,salah satunya masih bayi yang perkiraan saya masih belum genap 40 hari, yang nantinya sama-sama menuju ke Fez. Pemeriksaan cairan disini canggih. Sempat khawatir karena kami membawa Aqua 1.5 Liter dan botol susu yang belum habis dan lebih dari 100ml, takut disuruh membuang, padahal kami lagi butuh air. Ternyata botol tersebut hanya dimasukkan ke dalam dan hanya diperiksa. Ok, jadi pelajaran lagi, untuk minuman, g masalah jumlahnya lebih dari 100ml.

Saat itu jam menunjukkan sudah hampir jam 2 yang berarti 45 menit lagi kami terbang, tapi kenyataannya pesawat "delay" untuk waktu yang tidak jelas. Gate 29 yang seharusnya tertera tulisan "Fez", masih tertulis Istanbul dengan barisan antrian yang panjang juga. Ini baru pertama kalinya kami mengalami "pesawat delay" di negara Eropa. Hampir menunggu 2 jam, kami mendapat kejelasan untuk terbang tapi dari Gate 23, widiiihh, rombongan penumpang yang hampir sebagian besar orang Arab segera melesat (sekali lagi "mirip dengan di Indonesia" :D). Sampai di Gate 23, kami harus antri dengan "cukup" harus "sikut-sikutan" (lebay.com) karena penumpang berlomba-lomba ingin didahulukan. Sampai di sini, sistem di bandara Madrid benar-benar tidak bersahabat dengan anak-anak.

Di Gate 23 ini, kami pun harus menunggu lama dan dibuat bingung oleh petugas karena ada beberapa orang yang sepertinya menjadi Priorits Boarding. Kurang tahu bagaimana sistem pembagiannya. Kalau di Berlin, balita, orangtua, dan orang yang pakai kursi dorong menjadi prioritas plus yang mau menambah membayar, kata suami sih cukup nambah 3 euro per orang, tapi pihak Ryan Air Madrid tidak menawarkan (atau kami tidk bertanya), tapi di di sini tidak ada prioritas untuk anak-anak. Yang membuat kami ilfil lagi, si petugas g terlalu "care" dengan berat muatan. Pasangan arab yang membawa 3 anak tadi bawaannya seabrek, bahkan ketika disuruh memasukkan ke dalam alat pengukur berat itu si bapak kelihatan banget maksa tapi si petugas g memperhatikan. Cukup lama kami menunggu, sampai akhirnya muncul pengumuman lagi:  kami harus kembali ke Gate 29. Alamak...

Di sini pun kami hatus menunggu 1/2 jam sampai akhirnya muncul kepastian pesawat berangkat jam 17.30. Tidak ada kompensasi. Lagi-lagi penumpang berdesak-desakan duluan. Akhirnya ada penumpang yang protes kepada petugas "Kalau Anda punya rasa kemanusiaan, harusnya kalian mendahulukan anak-anak, bukannya orang-orang seperti tadi". Good Job bapak!!! Tapi, tetap saja yang sudah memgantri minta didahulukan dan kembali pada kesadaran penumpang untuk mendahulukan anak-anak...hadeuh.

Garbarata sudah di depan mata, ternyata masih hatus menunggu lagi 10 menit-an dan check lagi. Total sampai sekarang 6x antri. Akhirnya masuklah kami ke dalam pesawat dan tiba di Fez pukul 20.00 waktu Fez (selisih 1 jam dari Berlin).

Sampai di Bandara Fez, ada pesawat lain yang mendarat. Dari kejauhan sudah terlihat antrian hanya melalui 1 pintu. Pintu pertama ini, petugas memgecek paspor dari mana, bila bukan warga sana, di suruh mengisi kertas kecil yang berisi keterangan diri termasuk akan menginap di mana dan kembali mengantri untuk di cek lengkap. Di sini untungnya si kecil g rewel karena kami biarkan berjalan-jalan. Di antrian samping kami ada pasangan Arab-Jerman yang anaknya nangis dan ternyata ingin BAB. Yup, tidak ada prioritas di sini. Lolos dari control pasport, mengantri lagi untuk masuk dan akhirnya.... Welcome to The Fez





Monday, July 20, 2015

Liburan...Edisi Maroko part 1

 
Medina, Kota Tuanya Fez
Bebas dari segala pemeriksaan kami harus mencari kendaraan menuju Medina, kota lama Fez. Ada 2 pilihan dari bandara ke Medina:naik bus dengan ongkos 4 dirham per kursi sampai di stasiun kereta dan bus (lamanya 40 menitan) atau naik taxi sampai di tempat. Karena awalnya kami tidak tahu di mana harus menunggu bus dan tidak melihat penampakannya, jadilah kami menawar taxi. Berdasarkan standar tarif sih harga taxi 150 dirham (kurs 1 euro=±10 dirham), tapi kami ilfil lagi karena ternyata si bapak taxi membawa penumpang lain, seorang ibu-ibu. Akhirnya kami menawar 120 dan si bapak tetap kekeuh, ya sudah kami tinggal saja dan hahay, si bapak kembali memanggil tanda setuju. Taksi bandara ini tidak sama dengan taksi dalam kota alias Petit Taxi. Pada saat pulang nantinya, kami sempat bertanya ke bapak Petit Taxi bisa ngga bawa kami ke bandara, dia bilang sih sanggup. Kenyataannya, kami di oper ke kawannya yang benar-benar supir bandara. Tapi sebelumnya kami pastikan dulu bahwa tidak ada biaya tambahan diluar kesepakatan awal.
Awal mendarat
Pintu luar bandara

Tarif taxi
Pemandangan sepanjang jalan hampir sebagian besar diselimuti warna kuning alias pasir dan debu dan sepanjang perjalanan banyak kebun jeruk yang akhirnya baru kami ketahui kalau jeruk ini jadi minuman yang paling banyak dijual. 15 menit kami melewati kawasan yang bisa dibilang sederhana dengan toko-toko dan rumah yang bisa dibilang jelek, 15 menit kemudian kami sepertinya melewati kawasan elit Fez dengan bangunan rumah yang luas, pagar tertutup dan mobil di garasinya. Agak kontras memang. Yang menarik, atap rumahnya datar baik yang elit maupun yang sederhana.
Kebun jeruk sepanjang perjalanan

Kawasan elit di Maroko (lihat atapnya)
Setelah mengantar si ibu, sampailah kami di tempat yang banyak orang di depan sebuah bangunan tinggi. Ternyata itu yang namanya Medina (kota tua)nya Fez. Saat itu sedang ada festival musik, jadi banyak warga lokal keluar menyaksikan. Rame banget. Taxi berhenti di depan sebuah gerbang berwarna biru....Blue Gate (Bab Boujeloud).



Bab Baujeloud

Kami menginap di Dar Fatimah Azzahra (nomor 115) dengan tarif 100 euro untuk 5 hari. Lokasinya tidak jauh dari Hotel Boujloud yang direkomendasi situs perjalanan. Pemiliknya, Fatimah Azzahra cukup ramah dan menyediakan teh mint saat pertama kali datang. Fatimah ini mempunyai 3 anak laki-laki, si Mehdi dan 2 adiknya. Sarana yang ada di penginapan ini wifi dan sarapan pagi. Untuk pertama kalinya saya benar-benar mencicipi roti maryam yang enak, asli dari masyarakat berbahasa arab. Penyajian teh mintnya sendiri di bilang unik. Jangan- coba pegang di teko tanpa alas karena sepertinya teh tersebut dimasak langsung dengan teko di atas kompor. Oiya, yang lebih enak lagi, saya bisa numpang nyuci pakaian dan njemur, bahkan si ibu yang membantu masak di Dar Fatimah Az-zahra ini menawarkan pengering mesin cuci. Jadi bisa saya rekomendasikan penginapan ini. Cuma mungkin jalan masuknya agak njelimet tapi nggampang untuk diingat.
Sarapan pagi kami dari hari ke hari

Foto yang memperlihatkan cara menuang teh ala Maroko
Oiya, jika ingin berwisata murah dari awal mending peta tentang Morocco sudah diprint termasuk tempat penginapan. Hampir kebanyakan orang-orang yang bersedia mengantarkan dan memberi petunjuk jalan (pun hanya menunjukkan tempat penginapan) meminta upah atas "jasa" mereka, termasuk saat menunjukkan penginapan yang sudah kami booking. Saat kami memberi 5 dirham pada si pemuda, dia menolaknya. Menurutnya hanya untuk anak kecil. Karena tidak punya uang yang lebih kecil lagi, akhirnya kami memberi 20 dirham. Sejak ini, kami sering menolak kalau ada yang bersedia mengantarkan kecuali dia bilang gratis. Meskipun gratis, ternyata tetap ada embel2nya mis. Dia punya toko dan meminta kita membeli barangnya.

Identik 100 dirham
Karena sudah hampir malam, kami bermaksud untuk meminta makan malam dan bertanya harganya. Si Mehdi langsung bertanya pada ibunya dan tebak berapa harganya? 100 Dirham. What...g jadi deh, mending beli di restoran luar jelas ada harganya dan g sampai 100 untuk 2 orang. Kayaknya orang-orang lokal ini melihat para turis sebagai tambang emas deh, 3 cewek yang juga menginap di sini tertarik memakai jasa heena tetangga si Fatimah. Tebak harganya berapa? 100 dirham per orang. Jadi, kami sering buat bercandaan, kalau ada apa-apa, 100 dirham. Wkwkwk
Henna...bagus ya

"Sedekah"
Kami ini lagi backpackere-an jadi benar-benar mencari yang murah. Daripada menyewa jasa tour guide dengan harga minimal 150 Dirham, mending kami eksplorasi sendiri berbekal peta. Kalau ada yang menawarkan jasa atau menawarkan restoran pake 2 senjata, kabuuur atau menolak halus. Di sini benar-benar deh, kami sempat pergi ke salah satu masjid, si bapak penjaga masjid yang baik dan ramah menunjukkan tempat wudhu perempuan padaku.  Saat kami akan pulang, seorang bapak yang dari tadi berdoa menyuruh kami untuk berhenti sejenak dan mendoakan kami. Saya yang tidak ada pikiran apa-apa sih senang-senang saja. Eh ternyata di akhir doa, si bapak minta "sedekah" dan bapak penjaga yang baik juga ikut-ikutan. Ealah...

Kalau kalian berbaik hati, ada banyak pengemis yang juga meminta sedekah termasuk mbah-mbah tua. Oiy, kalau mau memotret barang-barang yang dijual ataupun mau memotret orang-orang Morocco sebaiknya dilakukan secara cepat ataupun g ketahuan. Biasanya mereka juga meminta sedekah. Saya yang hanya punya kamera hp, jadi agak kesulitan karena ini hp lama banget loadingnya. Eh pas berhasil memotret si penjual minuman tradisional, dia meminta sedekah karena saya memoto dirinya.

Indah tapi Tidak Terawat
Mengunjungi setiap bangunan Madrasah, museum, dan masjid di Fez ini membuat saya tidak berhenti berdecak, mengagumi keindahan arsitekturnya sekaligus mengelus dada karena banyak yang tidak terawat. Di salah satu madrasah terlihat ada dinding yang kelihatannya habis direnovasi tapi renovasinya menghilangkan ukiran kaligrafi. Khas peninggalan Islam dahulu setiap bangunannya penuh dengan ukiran dan kaligrafi. Indah banget, sayangnya ya itu tadi tidak terawat dan kotor. Ga bisa bayangin berapa lama untuk pembangunan 1 bangunan. Menurut cerita suami, 1 dinding batu dengan ukiran seperti ini bisa memakan waktu 3 bulan. Belum mozaik di lantai dan didinding yang ditempel satu persatu. Saya akan ceritakan detail perjalanan kunjungan ke bangunan ini satu persatu.


 

Lihat ukirannya...sangat detail

Liburan...edisi Maroko part 2

Fez el Jadid

Hari ke 3 di Fez, sebenarnya membuat kami bingung akan kemana karena sebenarnya kalau kalian aktif bangun pagi dan eksplorasi sampai malam, dalam 2 hari saja sudah bisa mencapai seluruh Fez al Medina sehingga bisa dilanjutkan ke kota lain di Maroko yang tidak kalah indahnya.

Banyak lho kesamaan dengan di Indonesia. Berhubung budget pas-pasan dan g mo capek apalagi bawa si kecil, kami agak nyantai saja untuk eksplorasi Fez. Hari ini kami rencana ke Fez el Jadid, kota barunya Fez. Meskipun di bilang baru, umur kota ini pun sudah lama. Berbeda 800 tahunan dengan Fez el Medina.
Berangkat dari penginapan dengan Petit taxi tarif 20.4 (menurut suami seharusnya 10.4, tapi si supir mungkin agak nakal, jadi dari awal berangkat sudah terstel 10 dirham). Sopir taksi nakal --- persamaan 1

Mencari Wisata Warga Lokal
Dari yang jauh dari turis dan biasanya banyak dikunjungi warga lokal adalah sasaran kami. Kami berpikir kemungkinan bisa dapat harga lebih murah. Kami turun di Avenue Hassan II (jalan utama), di antara 2 jalur ada taman besar yang sepertinya dipakai warga lokal untuk cuci mata. Suasananya sama seperti di tanah air, taman kota begini dipakai oleh warga lokal untuk bersantai, muda-mudinya ada yang asyik berduaan. Mallnya menarik orang untuk datang meski harga makanan seperti fast food jauh lebih mahal daripada kedai dan restoran lokal -- persamaan ke-2

Tapi, justru di tempat ini kami bisa makan makanan Maroko sepuasnya. Soal harga ternyata tidak terlalu berbeda jauh dari di Medina, hanya sekitar 10-20 dirham. Selama makan ini, kami selalu dilihat oleh 1 keluarga pengemis yang tampak kurus. Ya, banyak juga pengemis di Maroko ---persamaan ke-3
Tapi, ada juga yang lebih berusaha daripada mengemis biasa, yaitu menjual tissue.

Secara personal, orang-orang Maroko hampir sama dengan di Indonesia, ramah ---persamaan ke-4 dan mereka suka dengan anak kecil. Hati-hati bagi ibu-ibu higienis yang punya balita lucu. Mereka kadang tidak segan, pegang-pegang dan mencium si anak lho.
Dari Fez el Medina kami turun di Ave Hassan II dengan taman di tengah jalan

Tentara berjaga-jaga dan Kebiasaan Bapak-bapak di Maroko
Nah ini yang agak menakutkan, di Fez el Jadid ini sering saya lihat 3 orang tentara berjaga-jaga membawa senapan. Mungkin sebenarnya polisi ya, tapi seragam ala tentara Indonesia dan senapannya itu lho yang membuat merinding, takut salah sasaran (lebay.com).
Yang khas lagi adalah kebiasaan bapak-bapak di Maroko yang sering kumpul dan duduk santai di kafe-kafe sambil mengobrol dan minum kopi khas Maroko, kopi disajikan dalam wadah kecil dan disajikan setengahnya karena kental dan rasanya kuat. Bagi suami yang penggemar kopi, rasanya mantap.